1. 1. Tipe-tipe
Budaya Politik
Menemukan
tipe budaya politik pada masyarakat Cineam dapat dilakukan melalui analisis
beberapa teori mengenai tipe-tipe budaya politik dari para ahli. Berikut ini
adalah tipe-tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia menurut para ahli:
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada
negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja
sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama
dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya
politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
1.
Budaya Politik Militan
Budaya
politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang
terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi
kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh
peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar
emosi.
2. Budaya Politik Toleransi
Budaya
politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai,
berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk
bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga
terhadap orang.
Jika
pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu
dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup
jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir
selalu mengundang kerja sama.
1. 2. Berdasarkan
sikap terhadap tradisi dan perubahan.
Budaya
Politik berdasarkan sikap terhadap terbagi atas :
1. a. Budaya
Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya
politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan
kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha
yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola
pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan
mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan
(bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi,
jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara
kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan
dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan
pertumbuhan unsur baru.
1. b. Budaya
Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur
mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja
yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap
diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan
masa kini.
Tipe
absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang
membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang
berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan.
Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu
masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan
yang lebih sempurna.
1. 3. Berdasarkan
Orientasi Politiknya
Realitas
yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi.
Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya
politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda.
Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang
setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almondmengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
1. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan
faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). Secara relatif
parokialisme murni itu berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih
sederhana sehingga spesialisasi politik berada pada jenjang yang paling rendah.
Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan
normatif ketimbang kognitif. Contohnya suku bangsa terpencil di Nigeria atau
Ghana, dapat saja menyadari akan suramnya rezim politik sentral dengan berbagai
cara. Akan tetapi perasaannya terhadap hal tersebut bersifat tidak menentu dan
mereka tidak membakukan norma-norma untuk mengatur hubunganya dengan hal
tersebut.
2. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun
ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. Di sini terdapat frekuensi orientasi
yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari
sistem itu. Akan tetapi, frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara
khusus dan terhadap pribadi sebagai partisipan aktif. Subjek politik menyadari
otoritas pemerintah, mereka secara efektif diarahkan terhadap otoritas tersebut
dan mereka mungkin menunjukan kebanggaanya terhadap sistem itu. Akan tetapi
hubungan terhadap sistem secara umum dan hasilnya bersifat pasif. Walaupun ada
bentuk kompetensi yang terbatas dan tersedia di dalam kebudayaan subjek.
3. Budaya politik partisipan (participant political
culture), yaitu budaya politik yang ditandai
dengan kesadaran politik sangat tinggi. Dengan kata lain bentuk kultur dimana
anggota masyarakat cenderung diarahkan secara eksplisit kepada sistem sebagai
keseluruhan dan terhadap struktur serta proses politik serta administratif.
Dengan kata lain, budaya partisipan diarahkan kepada aspek input dan output
sistem politik itu sendiri. Anggota pemerintahan yang dapat bekerja sama
diarahkan kepada berbagai obyek politik yang beragam.
Dalam
kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya
politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang
klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai
berikut.
NO
|
BUDAYA POLITIK
|
URAIAN/KETERANGAN
|
1.
|
Parokial
|
1.
Frekuensi
orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
2.
Tidak
terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
3.
Orientasi
parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif
yang diinisiasikan oleh sistem politik.
4.
Kaum
parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
5.
Parokialisme
murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana
spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
6.
Parokialisme
dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif
dari pada kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
1.
Terdapat
frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang
diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi
terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai
partisipan yang aktif mendekati nol.
2.
Para
subyek menyadari akan otoritas pemerintah
3.
Hubungannya
terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara
esensial merupakan hubungan yang pasif.
4.
Sering
wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
5.
Orientasi
subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
1.
Frekuensi
orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
2.
Bentuk
kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara
eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur
dan proses politik serta administratif (aspek input danoutput sistem politik)
3.
Anggota
masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
4.
Masyarakat
berperan sebagai aktivis.
|
2. Perkembangan Budaya Politik
Indonesia
Pembagian
budaya politik di Indonesia yang lebih didasarkan pada gaya berpolitik yang
berkembang di Indonesia ada 3 tipe yaitu :
1. Budaya politik tradisional
Budaya
politik tradisional ialah budaya politik yang mengedepankan satu budaya dari
etnis tertentu yang ada di Indonesia. Sebagai contoh, budaya politik yang
berangkat dari paham masyarakat Jawa.
Selain
itu, budaya politik tradisional juga ditandai oleh hubungan yang bersifat
patron-klien, seperti hubungan antara tuan dan pelayannya.
Budaya
politik semacam ini masih cukup kuat di beberapa daerah, khususnya dalam
masyarakat etnis yang sangat konservatif. Masyarakat tradisional seperti ini
biasanya berafiliasi pada partai-partai sekuler (bukan partai agama).
1. Budaya politik Islam
Budaya
politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada suatu
keyakinan dan nilai agama tertentu (Islam). Agama Islam di Indonesia menjadi
agama mayoritas dan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di
dunia, sehingga Islam menjadi salah satu budaya politik yang cukup mewarnai
kebudayaan politik di Indonesia. Orientasi budaya politik yang mendasarkan pada
nilai agama Islam mulai tampak sejak para pendiri bangsa membangun negeri ini.
Budaya
politik Islam biasanya dipelopori oleh kelompok santri. Kelompok ini identik
dengan pendidikan pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Kelompok masyarakat ini
terdiri dari dua yakni tradisional dan modern. Kelompok tradisional biasanya
diwakili oleh masyarakat santri yang berasal dari organisasi NU (Nahdlatul Ulama).
Sementara yang modern biasanya diwakili oleh masyarakat santri dari organisasi
Muhammadiyah. Perbedaan karakter Islam ini juga turut melahirkan
perbedaan pilihan politik. Ini membuat budaya politik Islam menjadi tidak satu
warna.
Pada
masa lalu, kelompok santri biasanya berafiliasi pada partai seperti Masyumi dan
partai NU. Kedua partai ini memiliki basis pada kelompok masyarakat Islam.
1. Budaya politik modern
Budaya
politik modern adalah budaya politik yang mencoba meninggalkan karakter etnis
tertentu atau pendasaran pada agama tertentu.
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, dikembangkan budaya politik modern yang
dimaksudkan untuk tidak mengedepankan budaya etnis atau agama tertentu. Pada
masapemerintahan ini ada dua tujuan yang ingin dicapai yakni stabilitas
keamanan dan kemajuan.
Seperti
halnya budaya politik Islam, budaya politik modern juga bersifat kuat dan
berpengaruh. Di dalamnya terdapat beragam subkultur seperti kelompok birokrat,
intelektual, dan militer. Nyatanya hanya ada dua kelompok (birokrat dan
militer) yang paling berpengaruh dalam pembuatan kebijakan pada masa Orde baru.
1. 3. Tipe
Budaya Politik Petani Salak Cineam
Untuk
mengetahui tiipe budaya politik pada petani salak cineam dapat dilihat dari
beberapa teori yang telah dipaparkan di atas. Masyarakat petani salak Cineam
yang lebih bersifat tradisional dan juga masyarakat transisi antara pedesaan
dan perkotaan serta nilai-nilai religi Islam yang teguh, mempegaruhi pada
budaya politik yang di anutnya. Melihat indikator tersebut maka budaya politik
para petani salak Cineam dapat dikategorikan ke dalam budaya politik parochial
partisipan serta budaya politik Islam.
1. 4. Perkembangan
Tipe Budaya Politik sejalan dengan Perkembangan Sistem Politik yang Berlaku
Pada
negara-negara demokratis umumnya, partisipasi politik warga negaranya dapat
mempengaruhi pembuatan suatu kebijakan (policy).Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Samuel P. Huntington dan Joan Nelson yang menyatakan bahwa partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,
yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah.Partisipasi bisa bersifat individual dan atau kolektif, terorganisir
atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal
atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
1. Makna Sosialisasi Kesadaran Politik
Menurut
M. Taopan, Kesadaran politik (political awwarnes) merupakan proses bathin yang
menampakkan keinsyafan dari setiap warga negara akan pentingnya urusan
kenegaraan dalam kehidupan bernegara. Masyarakat khususnya petani salak di
Cineam harus mendukung pemerintah, mengingat kompleks dan beratnya beban yang
harus dipikul para penyelenggara negara. Kesadaran politik yang terbangun dalam
diri petani salak dapat terwujud melalui sosialisasi politik.
Sosialisasi
Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang
berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik
demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan
proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan
sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh
interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi
politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari
usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan
pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah
laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh
seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima
rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara
berangsur-angsur.
Jadi,
sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik
masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem
politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja
menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju
kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan
pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap
bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin
terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis
terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi
1. Pengertian Menurut Para ahli
Berbagai
pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan
oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang
budaya politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli
politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan
koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi
politik menurut para ahli.
1. David F. Aberle, dalam “Culture
and Socialization”
Sosialisasi
politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku,
yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu
pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan
peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus
berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru
masih harus terus dipelajari.
1. Gabriel A. Almond
Sosialisasi
politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola
tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi
suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan
keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
1. Irvin L. Child
Sosialisasi
politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan
banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan
tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi
kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari
kelompoknya.
1. Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi
politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan
pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi
yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
1. S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia
lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa
jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.
1. Denis Kavanagh
Sosialisasi
politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan
pandangannya tentang politik.
1. Alfian
Mengartikan
pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi
politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai
yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun.
Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang
mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir
pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang
berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran
secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau
perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung dalam
keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak
politik langsung.
Dari
sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengahkan
beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.
1. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar
dari pengalaman/ pola-pola aksi.
2. Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan
kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan
pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
3. Sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja
(walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang
hidup.
4. Bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas
sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan
mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip
Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi
dengan definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses pelestarian yang
sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan antara sosialisasi
dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis, sebagai pemeliharaan
sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa
suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan: ada
atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial; menyediakan satu teori
yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak membatasi diri
dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang diajar, siapa
yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan
kepribadian individu, lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian
kelompok-kelompok individu- adalah fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi
proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik yang
terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa
berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu
disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara
tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat
memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa
secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak
bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar
sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara
tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun pada perkembangan” kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi dalam
bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua kita, dan
sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini yang tampak di depan
mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita menyadari akan masa
lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi,
walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik
dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa
makna setiap pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan
tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.
Kiranya
kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana
individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap
terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa
masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi.
Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan
tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada
keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi
itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya,
maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu
dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin
terjadi stagnasi.
2. Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau
remaja. Hasil risetDavid Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia
tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari
belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti “keterikatan kepada sekolah-sekolah
mereka“, bahwa mereka berdiam di suatu
daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva,
kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol
otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia
sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak,
seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara
dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess,anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden
selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh
kekuasaan. Eastondan Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari
anak, yaitu sebagai berikut.
1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak,
presiden dan polisi.
2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu
antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti
kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka
yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi
ini.
Suatu
penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai
pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi orang tua di Rusia.
Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
1. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan
dan tradisi pada umumnya
2. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material
mobilitas sosial.
3. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
4. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan,
menjaga keamanan dan ketentraman.
5. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
6. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan
pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan
mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik.
Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam
sosialisasi politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien
dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara
orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi
tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar
informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung
nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah
memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan
nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah
satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai
sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut
anggota kader maupun simpatisannya secara periodik maupun pada saat kampanye,
mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Partai politik harus mampu menciptakan “image” memperjuangkan
kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa
dapat memenangkan pemilu.
Budaya
politik yang parokial partisipan serta budaya politik Islam yang sangat kental
memengaruhi pilihan petani salak Cineam dalam memilih partai politik. Partai
politik Islam tentunya akan lebih berpeluang memenangkan pemilih dari kalangan
petani salak, walaupun tidak tertutup kemungkinan partai yang bersifat
nasionalis serta memiliki citra yang positif berpeluang yang sama.
4. Sosialisasi Politik dalam
Masyarakat Berkembang atau Petani
Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah
menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara
Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi
maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung sesudah Perang
Dunia Pertama. Mustapha
Kemal (Kemal Ataturk) berusaha
untuk memodernisasi Turki, tidak hanya secara material, tetapi juga melalui
proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara
Ghana.
Menurut Robert
Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah
penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai
berikut :
1. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui
kapasitas mereka untuk “memodernisasi” keluarga tradisonal lewat industrialisasi
dan pendidikan.
2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai
tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat
pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada
saat sosialisasi dini dari anak.
Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan
nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh
peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan
pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
Thanks
ReplyDeleteThanks
ReplyDelete